“Kemana dia!?”
kata Elis dalam hati, dengan segera ia mengambil senapannya dan dengan acak
berputar-putar mencari Feara yang lenyap dari tempatnya tergeletak tadi.
Tiba-tiba sesuatu menghantam bagian perut Elis. Elis pun terpental dan
meringkuk sebentar, kesakitan.
“Kau, apa yang
terjadi? Seharusnya kau sudah tak bisa berdiri lagi,” kata Elis sambil
mencengkram senapannya sambil perlahan bangkit. Feara hanya tersenyum tipis
lalu kembali mencabut pedangnya dari sarung pedang tersebut. Sabetannya
mengenai Elis jika saja Elis tidak menghindar terlebih dahulu. Kembali pada
ancang-ancang Elis menembakkan senapannya tepat pada tempat dimana Feara
berdiri sebelumnya. Tapi Elis hanya menembak angin.
“Memang benar
tembakkan senapan itu sangat cepat...” Feara yang entah sejak kapan sudah
berada di belakang Elis mengangkat pedangnya tinggi-tinggi bersiap untuk
serangan mematikannya. Elis pun sesegera mungkin berputar.
“Tapi gerak
reflek manusia jauh lebih cepat!” berbarengan kata-kata itu diucapkan dengan
ayunan pedang Feara.
*tang*
Suara aduan
senapan Elis dengan pedang Feara terdengar memekakan di seluruh penjuru arena.
Senyuman kecil muncul di mulut Elis, bersamaan dengan itu moncong senapannya
sudah mengarah pada Feara. Untuk sejenak Feara terbengong terpana oleh Elis
yang ternyata jika dilihat dari dekat... imut.
“Memang benar
reflek manusia itu lebih cepat,” kata Elis tersenyum makin lebar.
“Eh?” mata
Feara langsung melotot begitu sadar senapan Elis sudah mengarah padanya.
“Tapi jika
sedekat ini, manusia mana pun tak mungkin bisa menghindar!” kata Elis sambil
menarik pelatuk senapannya. Akibat tembakkan barusan debu mengepul di
sekelilingnya dan tembakkannya mengakibatkan suara keras yang memekakan
telinga.
“Hampir saja,
apa kau berniat membunuhku?” kata Feara dengan nada agak tinggi.
“Ap...?” lidah
Elis tercekat begitu sadar pedang Feara sudah mendarat tepat di
tenggorokkannya. Feara tersenyum penuh kemenangan.
“Sampai disini
saja, nona muda,” kata Feara tak kunjung menurunkan pedangnya.
“Ya tentunya
sampai disini saja,” kata Elis yang senapannya telah sempurna mengarah pada
Feara lagi. Kedua orang tersebut berpikir keras tanpa mengalihkan pendangannya.
Antara menyerang atau menghindar. Tentunya pilihan pertama akan sangat berat
apalagi lawan di hadapannya sangat gesit, apalagi pilihan kedua, seberapa cepat
pun bergerak, mereka tidak akan dapat lolos dengan posisi seperti ini. Karena
itulah pilihan pertama yang paling masuk akal.
Keringat dingin
bercucuran di wajah Feara, poninya pun sampai berantakan tak karuan. Giginya
telah bergemeletuk sejak pertarungan ini di mulai. Memang perbedaan jurusan ini
sangat merugikan baginya.
“Lihat dirimu,
apa kau ketakutan hingga hampir mengompol?” kata Elis berusaha menurunkan
konsentrasi Feara.
“Lihat dirimu
sendiri, bahkan keringatmu jauh lebih deras dari padaku,” kata Feara melakukan
hal yang sama.
“Berisik! Hah,
semakin lemah anjingnya, semakin kencang gong-gongannya!” kata Elis lagi,
terpancing.
“Apa katamu!?
Siapa yang kau sebut anjing dasar ***************************,” kata Feara ikut
terpancing.
“Ap... kau!
Cukup aku sangat marah,” kata Elis sambil mengokang senapannya. Bagi Feara, ia
terlihat seperti anak kecil yang permennya direbut. Tanpa sadar Feara
tersenyum-senyum. Merasa dibodohi, Elis melangkah mundur untuk memberikan
dirinya jarak agar pedang Feara tidak menggapainya. Bersamaan Elis menembak,
Feara pun menebaskan pedangnya keduanya terpental kebelakang. Bukan karena
serangan dari lawannya, lebih karena lompatannya sendiri.
Disatu sisi
Feara terluka cukup dalam di bagian pinggangnya, disisi lain pedang Feara
berhasil menggores sepanjang perut Elis yang bajunya menjadi compang-camping.
Perlahan darah keluar dari luka keduanya. Keduanya pun segera berdiri melupakan
rasa sakit dari luka yang baru saja ia terima dan langsung melompat menyerang
satu sama lain. Saat itu tiba-tiba debu berterbangan di antara keduanya.
“Cukup!!!” sebuah suara yang berasal dari dalam debu
tersebut menggema ke seluruh arena.