Bulan terlihat indah bersama dengan
bintang-bintangnya. Gelapnya malam membuat cahayanya semakin jelas diantara
remang-remang lampu jalan. Sesekali lewat sebuah siluet yang melesat dan hinggap
di salah satu pohon yang telah ranum buahnya. Nyanyian dan melodi malampun
terdengar seru. Saling balas membalas, ribut namun entah kenapa terdengar
indah. Di sebuah kastil yang tinggi terlihat jendela yang terbuka dan tersembul
sebuah kepala darinya. Tatapan mata hijau emeraldnya begitu sendu dan
memancarkan cahaya kesepian. Rambutnya yang hitam kontras dengan wajah
cantiknya yang seputih susu. Bibirnya bersenandung di bawah sinar bulan.
Dikejauhan hanya terlihat bukit dan bukit kehijauan dibalik dinding
tebal. Angin sesekali bertiup menerbangkan kain hordeng yang seakan melambai
membawa cerita dari dunia luar. Cahaya matahari malu-malu menampakan diri dari
balik dinding raksasa. Saat itulah kehidupan
di dalam dinding dimulai.
“Selamat pagi!” seru seorang gadis yang berlarian menuruni
tangga dengan membawa keranjang belanjaan kepada siapa saja yang berada di
depan matanya.
“Selamat pagi, tuan putri Sayaka. Semangat sekali seperti
biasa.” Kata para orang tua yang bertemu dengannya sepanjang perjalanan. Di
dalam benteng ini, siapa yang tidak kenal putri Sayaka, anak dari penguasa
dinding ini. Ia sangat baik dan penuh semangat, senyumannya dapat menghilangkan
kesedihan, keceriannya menyebar diantara penduduk yang terlihat begitu
menyedihkan.
Langkah-langkah kecil namun cepat menuruni tangga dan terus
melaju menuju pasar. Sudah menjadi rahasia umum jika setiap pagi putri Sayaka
secara diam-diam kabur dari dalam kastil dan menuju ke pasar untuk membeli apa
yang ia inginkan. Peraturan di dalam kastil yang ketat membuat putri Sayaka
tidak bebas dan merasa terkekang. Jadilah ia berpergian keluar kastil dimana
dengan kokohnya singgasana ayahnya berada.
Dalam perjalanan menuju pasar, putri Sayaka sesekali berhenti
untuk memberi beberapa potong roti yang ia bawa dari dalam kastil kepada
pengemis di sepanjang jalan menuju pasar. Dengan senyuman ia member sepotong
roti kepada seorang pengemis tua.
“Terima kasih putri Sayaka, juga maaf setiap hari membuatmu
memberi roti kepada kami.” Kata salah seorang pengemis tua.
“Tidak apa, lagi pula aku sendiri yang ingin member, bukan
berarti kalian memaksaku.” Kata putri Sayaka sembali merapikan tas
belanjaannya. Pemandangan pasar yang bias dibilang mengerikan dengan pengemis
dan para budak yang berada di situ. Tak jarang pula terjadi pertengkaran di
pasar. Namun putri Sayaka sudah terbiasa dengan hal itu. Putri Sayaka melangkah
masuk ke dalam sebuah bar.
“Putri Sayaka, ini bukan tempat untuk seorang putri,” kata
salah seorang pelanggan.
“Iya, terima kasih atas tegurannya,” dengan senyum cerah
putri Sayaka menjawab.
“Jika paduka tahu akan hal ini bukankan menjadi gawat?”
“Aku bahkan tidak mau membayangkan tentang itu,” kata putri
Sayaka dengan senyum setengah tertawa dan setengah murung.
“Hey, apa yang baru saja kau katakan? Cepat tarik kembali
ucapanmu!” tiba-tiba suara keras terdengar berbarengan dengan gebrakan meja.
Dalam sekejab tempat terjadinya keributan tersebut telah dikelilingi oleh
orang-orang yang penasaran. Karena tertarik, putri Sayaka pun ikut
berdesak-desakan demi melihat apa yang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar