Selasa, 12 Mei 2015

Rembulan dan Bintang 1



Bulan terlihat indah bersama dengan bintang-bintangnya. Gelapnya malam membuat cahayanya semakin jelas diantara remang-remang lampu jalan. Sesekali lewat sebuah siluet yang melesat dan hinggap di salah satu pohon yang telah ranum buahnya. Nyanyian dan melodi malampun terdengar seru. Saling balas membalas, ribut namun entah kenapa terdengar indah. Di sebuah kastil yang tinggi terlihat jendela yang terbuka dan tersembul sebuah kepala darinya. Tatapan mata hijau emeraldnya begitu sendu dan memancarkan cahaya kesepian. Rambutnya yang hitam kontras dengan wajah cantiknya yang seputih susu. Bibirnya bersenandung di bawah sinar bulan.
Dikejauhan hanya terlihat bukit dan bukit kehijauan dibalik dinding tebal. Angin sesekali bertiup menerbangkan kain hordeng yang seakan melambai membawa cerita dari dunia luar. Cahaya matahari malu-malu menampakan diri dari balik dinding raksasa. Saat itulah kehidupan  di dalam dinding dimulai.
“Selamat pagi!” seru seorang gadis yang berlarian menuruni tangga dengan membawa keranjang belanjaan kepada siapa saja yang berada di depan matanya.
“Selamat pagi, tuan putri Sayaka. Semangat sekali seperti biasa.” Kata para orang tua yang bertemu dengannya sepanjang perjalanan. Di dalam benteng ini, siapa yang tidak kenal putri Sayaka, anak dari penguasa dinding ini. Ia sangat baik dan penuh semangat, senyumannya dapat menghilangkan kesedihan, keceriannya menyebar diantara penduduk yang terlihat begitu menyedihkan.
Langkah-langkah kecil namun cepat menuruni tangga dan terus melaju menuju pasar. Sudah menjadi rahasia umum jika setiap pagi putri Sayaka secara diam-diam kabur dari dalam kastil dan menuju ke pasar untuk membeli apa yang ia inginkan. Peraturan di dalam kastil yang ketat membuat putri Sayaka tidak bebas dan merasa terkekang. Jadilah ia berpergian keluar kastil dimana dengan kokohnya singgasana ayahnya berada.
Dalam perjalanan menuju pasar, putri Sayaka sesekali berhenti untuk memberi beberapa potong roti yang ia bawa dari dalam kastil kepada pengemis di sepanjang jalan menuju pasar. Dengan senyuman ia member sepotong roti kepada seorang pengemis tua.
“Terima kasih putri Sayaka, juga maaf setiap hari membuatmu memberi roti kepada kami.” Kata salah seorang pengemis tua.
“Tidak apa, lagi pula aku sendiri yang ingin member, bukan berarti kalian memaksaku.” Kata putri Sayaka sembali merapikan tas belanjaannya. Pemandangan pasar yang bias dibilang mengerikan dengan pengemis dan para budak yang berada di situ. Tak jarang pula terjadi pertengkaran di pasar. Namun putri Sayaka sudah terbiasa dengan hal itu. Putri Sayaka melangkah masuk ke dalam sebuah bar.
“Putri Sayaka, ini bukan tempat untuk seorang putri,” kata salah seorang pelanggan.
“Iya, terima kasih atas tegurannya,” dengan senyum cerah putri Sayaka menjawab.
“Jika paduka tahu akan hal ini bukankan menjadi gawat?”
“Aku bahkan tidak mau membayangkan tentang itu,” kata putri Sayaka dengan senyum setengah tertawa dan setengah murung.
“Hey, apa yang baru saja kau katakan? Cepat tarik kembali ucapanmu!” tiba-tiba suara keras terdengar berbarengan dengan gebrakan meja. Dalam sekejab tempat terjadinya keributan tersebut telah dikelilingi oleh orang-orang yang penasaran. Karena tertarik, putri Sayaka pun ikut berdesak-desakan demi melihat apa yang terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar