Pagi itu
matahari terbit dengan cahaya yang berbeda dari biasanya. Bukan, bukan
kehangatan yang dibawa matahari tersebut. Pagi itu sama seperti pagi 10 tahun
yang lalu. Pagi dimana semua berakhir, pagi kehancuran.
*trang*
Suara benturan
gelas bir membangunkan Feara dari tidur nyenyaknya. Sepanjang kemarin sore, ia
dan Elbow mendapat hukuman dari ketua guild atas kepergiannya ke dungeon tempo
hari. Feara pun mengulat sejenak dan membiarkan tulang-tulangnya yang saling
beradu berbunyi.
“Yo Feara,
setelah tidur nyenyakmu, akhirnya kau bangun juga,” seseorang dengan suara
berat menyapanya.
“Ini semua
berkat ketua,” kata Feara pada ketua guild broken sword itu sendiri.
“Haha... lihat
hasil kerjamu itu,” kata ketua sambil menunjuk bar yang mereka jadikan base
camp.
“Haha, hasil
kerja keras yang sia-sia. Mungkin lain kali aku akan berhati-hati agar tidak
mengotori lantai jika berpesta,” kata Feara melihat keadaan base camp guildnya
yang kembali kotor dalam waktu semalam setelah ia bekerja keras
membersihkannya.
“Yah,
setidaknya itu bagus untuk menyadarkanmu pentingnya kebersihan,” kata ketua.
“Kalau begitu,
kenapa kau tidak memberikan pekerjaan tersebut kepada mereka yang membuat kotor
bar ini lagi?” protes Feara yang hanya dijawab dengan tawa keras dari ketua.
Feara pun mendengus kesal.
“Ketua, kau
lihat Elbow?” kata Feara tersadar Elbow yang jarang-jarang meninggalkannya.
“Hah, Elbow?
Bukannya seperti biasa ia bersama dengan Feara?” kata ketua tercekat di akhir
kalimat sadar bahwa lawan biacaranya adalah orang yang disebutkannya. Feara
hanya menatap ketua dengan tatapan kecewa.
“Mungkin ia
sedang mencari angin di pertokoan atau perpustakaan... hahaha,” lanjut ketua
tak meyakinkan. Feara menghela nafas dan segera membalikan badan.
“Oi, mau kemana
kau Feara?” tanya ketua.
“Tentu saja aku
akan mencari Elbow, k-e-t-u-a,” kata Feara sengaja mengeja kata ketua. Dalam
hati ia bertanya kenapa orang seperti dia mejadi ketua. Yah memang kemampuannya
dalam pertempuran tak perlu diragukan lagi, tapi dalam hal memimpin di dalam
guild masih ada orang yang lebih baik dari ketua. Misalnya wakil ketua Foxtail
yang menjadi penyusun strategi ulung di dalam guild.
Lupakan tentang
ketua guild gadungan, Feara kembali melaju di pelataran kota mencari seseorang
yang untuk sementara ini menjadi mentornya, Elbow.
“Whoa Feara,
sudah lama tak bertemu!” kata seseorang di tengah jalan. Ia mengenakan baju
untuk berkebun. Usianya yang menginjak senja terlihat dari janggutnya yang
keputihan.
“Setiap hari
aku lewat sini kakek Goro,” kata Feara menjawab salam dari kakek Goro.
“Benarkah?
Hahaha rasanya aku sudah 10 tahunan tidak bertemu dengan mu. Ini hasil kebun
kakek sedang bagus, kau ambillah sebagian,” kata kakek Goro menjejalkan
potongan kentang di tangan Feara.
“Eh tidak
perlu, aduh kakek bukannya ini penghasilan kakek? Bagaimana nanti jika
keuntungan tahun ini berkurang?” kata Fera mendorong kembali kentang tersebut.
“Apa yang kau
katakan, tanpa kalian ladang kami akan musnah oleh monster-monster itu. Jangan
sungkan terimalah,” kata kakek Goro kembali mendorong kentang tersebut. Setelah
beberapa kali saling mendorong bungkusan kentang, akhirnya pertandingan
tersebut dimenangkan oleh kakek Goro. Feara pun menerimanya dan menaruhnya di
kantong bajunya.
“Terima kasih,
aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu tapi suatu saat nanti aku akan
membalas kebaikanmu.” Feara kembali melanjutkan usahanya mencari Elbow setelah
berpamitan pada kakek pelupa Goro. Bagi sebagian orang yang tidak memiliki
kekuatan atau tidak berkeinginan melawan, mereka berkerja sebagai petani atau
pun pembuat senjata. Banyak diatara mereka juga bekerja menghibur orang-orang.
Mereka biasa disebut sebagai orang-orang sipil, sedang orang-orang yang bekerja
menghabiskan monster di dungeon yah mungkin bisa disebut orang biasa.
Ditengah jalan
Feara melihat seseorang berjubah hitam yang sangat mencurigakan. Sejak tadi ia
berdiri di depan sebuah toko tanpa membeli. Ia tidak membawa senjata yang
mencolok, tapi siapa yang tahu bila dibalik jubahnya itu ternyata ada senjata
mematikan. Feara pun mendekati toko tempat orang tersebut berdiri mematung.
“Jika kau
berdiri terus disitu, kau akan mengganggu pelanggan lain,” kata penjaga toko
itu halus.
“Ada apa?”
tanya Feara setibanya di depan toko tersebut.
“Soal itu,
pelanggan ini terus berdiri di sini tanpa membeli. Kehadirannya disini pun
menakuti pelanggan lainnya. Aku sudah mencoba menegurnya tapi ia sama sekali
tidak mendengarkan,” kata penjaga toko tersebut sambil menunjuk orang tadi.
Feara pun menatap orang mencurigakan tersebut.
“Hei, kau
mengganggu pelanggan lain yang ingin berbelanja!” kata Feara. Orang tersebut tak bergeming,
atau mungkin bahkan tidak mendengar perkataan Feara.
“Hei, ku bilang
kau mengganggu pelanggan!” kata Feara lagi. Respon yang sama diberikan oleh
orang mencurigakan tersebut.
“AKU BILANG KAU
MENGGANGGU!” seru Feara kali ini denga suara yang lebih keras. Berkat itu
perhatian orang-orang di pasar tertuju pada toko tersebut. Tanpa mempedulikan
orang disekitarnya, orang mencurigakan tersebut tidak bergeming sedikit pun.
Feara yang sudah kesal segera mencabut pedangnya dan mengacungkannya ke dekat
leher orang tersebut.
“Berani kau
mengabaikanku, apa kau tuli? Nah kau lihat pedang ini, aku menyuruhmu untuk
pergi,” kata Feara yang kesabarannya sudah terkuras hingga pada tetes
terakhirnya. Bukannya pergi orang tersebut menatap pedang Feara yang mengkilap.
Dalam sekejap entah apa yang terjadi orang tersebut sudah berbalik mengacungkan
pedang Feara pada pemiliknya sendiri. Sejenak semua terdiam termasuk Feara.
Pada detik selanjutnya orang tersebut menjatuhkan pedang Feara ke tanah.
Terlepas dari
ancaman kematian, Feara mengambil langkah mundur mengambil pedangnya yang
tergeletak di tanah. Ia bersiap untuk melakukan pertarungan. Tiba-tiba saja
orang mencurigakan tersebut terjatuh, terkapar di tanah. Sorak penonton
bertepuk tangan menganggap kemenangan secara ajaib jatuh kepada Feara yang kini
memeriksa orang tersebut apakah masih hidup atau sudah mati.
“Feara!” Elbow
menerobos kerumunan penonton dan mendekati Feara. “Hey apa-apaan keributan
ini?”
“Elbow, yah kau
tahu sesuatu terjadi dan aku terlibat di dalamnya. Daripada itu, sejak pagi kau
pergi ke mana?” tanya Feara.
“Mencari udara mengelilingi
kota,” kata Elbow sambil memperhatikan orang yang tergeletak di pangkuan Feara
yang kini memegangi lehernya mencari denyut nadi. “Orang ini...”
“Kau kenal
dia?” kata Feara cepat sebelum Elbow menyelesaikan kalimatnya.
“Bukan kenal
atau apa, tapi ia yang meloncat menyelamatkanku tempo hari di dungeon,” jelas
Elbow.
“Dungeon?”
“Ituloh saat
aku hendak terkena pukulan maut gorila waktu itu, dia yang menyelamatkanku.”
“Dia!? Orang
yang kelihatannya sangat mencurigakan ini?“ kata Feara terkejut.
“Yah memang
tampangnya sangat mencurigakan, ditambah jubah hitamnya yang melengkapi kesan
mencurigakannya. Jadi apa yang terjadi hingga dia pingsan?”
“Tentang itu
aku juga tak tahu. Ia merebut pedang dari tanganku dan tiba-tiba saja terkapar
di sini,” kata Feara selesai mengecek status kehidupan orang mencurigakan
tersebut. “Setidaknya ia belum mati.”
“Lalu kenapa
dia bisa terkapar ya?” kata Elbow berusaha berpikir, begitu pula dengan Feara.
*kruyuk*
Tiba-tiba
sebuah suara terdengar. Suara perut yang menjerit karena belum terisi apapun
sejak lama.
“Kau mendengar
sesuatu?” kata Feara tak percaya dengan yang baru saja ia dengar.
“Seperti suara
perut kelaparan,” kata Elbow lebih meyakinkan dirinya.
“Jangan bilang dia...” kata Feara dan Elbow bersamaan
sambil menatap orang mencurigakan yang kini sedang terkapar.