Selasa, 28 April 2015

Snipe! 1



Di dalam sebuah bar tempat yang sering di kunjungi oleh guild broken sword, ketika semua orang masih melepas lelah setelah kemarin bermain dengan monster di dungeon seharian penuh. Ada seseorang yang berlompatan riang di pelantaran bar tersebut, ditemani oleh seorang lain yang berjalan dengan tatapan datarnya. Orang yang berlompatan riang tersebut adalah Feara, sedang yang satunya adalah Tax7, meski anggota lain guild broken sword belum mengetahui nama si Tax7.
“Yo Feara dan orang pendiam, pagi-pagi sudah bersemangat. Apa ada hal bagus yang telah terjadi?” sapa ketua pagi itu.
“Dengar ketua, pagi ini ketika aku melihat kalender, ketua tahu apa yang aku lihat?” kata Feara balik bertanya.
“Ayolah, jangan buat orang tua ini penasaran hahaha,” kata ketua diselingi oleh tawa khasnya.
“Sebenarnya hari ini...”
“Hari pengujian kenaikan tingkat. Jika dia lulus maka ia akan mendapatkan sertifikat untuk memasuki dungeon,” kata Elbow yang tiba-tiba datang entah darimana dan langsung menyambar pembicaraan Feara dan ketua.
“Yo Elbow, seperti biasa kau sangat cantik,” kata ketua memuji.
“Terima kasih,” kata Elbow.
“Tunggu-tunggu-tunggu! Itu seharusnya kalimatku!” kata Feara memelototi Elbow.
“Sama saja bukan, kau selalu mempermasalahkan hal kecil seperti itu, dasar pemula,” kata Elbow memancing keributan.
“Siapa yang kau panggil pemula? Mulai hari ini aku akan satu tingkat denganmu!” balas Feara tidak mau kalah.
“Itu hanya jika kau lulus ketika ujian nanti,” balas Elbow.
 “Hah, lihat saja kekuatan ku saat ujian nanti. Meski begini aku cukup kuat lho, betul kan, Tax?” tiba-tiba Feara menengok kepada Tax7 dan melibatkannya ke dalam perbincangan.
“Tax?” kompak seluruh anggota guild yang sedang berkumpul saat itu saling berpandang-pandangan.
“Ah, aku lupa memperkenalkannya, dia...”
“Tax7 (baca Tax seven), kalian bisa memanggilku begitu,” kata Tax7 yang memang sejak awal tidak terlalu banyak bicara. Seperti respon Feara yang pertama kali mendengar suara dari Tax7 anggota guild pun terkaget sampai-sampai mengeluarkan bir yang sebelumnya hendak ditegak.
“Dia bicara!” kata hampir seluruh anggota guild kompak berteriak. Orang yang dimaksud hanya menatap datar sambil sedikit memiringkan kepalanya.

Minggu, 26 April 2015

Seseorang Tanpa Tanda 3

Malam hari yang damai di bawah sinar rembulan ditemani oleh alunan musik alam. Bar yang dijadikan base camp guild broken sword memiliki penginapan tempat tinggal seluruh anggota guild. Kini penginapan tersebut mendapat satu anggota baru yang bahkan bukan anggota broken sword. Satu kamar dihuni oleh dua orang, karena itu Feara yang masih sendiri mendapat pasangannya malam ini. Tapi di kamar pasangan baru tersebut hanya terlihat dua buah kasur yang bergeletakan tak beraturan tanpa ada seorang pun di dalamnya. Salah seorang penghuninya sedang duduk merenung di teras depan bar yang kini hanya berhunikan meja dan kursi yang telah rapih dibersihkan. Itu karena semua orang lelah sehabis seharian berburu monster di dungeon dan tidak sempat mengadakan pesta.
“Hmm hmm... hmm... hm hmm,” sebuah lantunan melayang di sepinya malam hari. Suara yang keluar dari mulut seseorang yang baru saja diterima di dalam guild kecil ini.
“Kukira siapa, ternyata kau. Tak bisa tidur?” Feara yang terbangun entah kenapa malam itu dan menemukan kasur pasangannya sudah kempes tanpa orang di dalamnya, berjalan-jalan di sekitar penginapan dan bertemu dengan pasangannya. Seperti biasa orang tersebut tak mendengarkan dan meneruskan lantunannya tanpa terganggu oleh kehadiran Feara.
“Karena kau sudah bergabung dengan guild ini, kenapa kau tidak memperkenalkan dirimu?” kata Feara yang masih di abaikan oleh orang tersebut. Feara pun menyerah mengajak ngobrol dan akhirnya ikut duduk dan melakukan hal yang sama, bersenandung.
“Tax7 (baca: Tax seven),” tiba-tiba orang tersebut menghentikan lantunannya. Feara yang kaget juga ikut menghentikan lantunannya. Berbagai macam perasaan tercampur aduk dalam benak Feara, antara takut, kaget, senang, dan lain-lain.
“Kau bisa memanggilku begitu.”
“He... kau, bisa bicara!?” kata Feara kaget. Tax7 tak mempedulikannya sama sekali, tatapannya telah jauh menerawang ke angkasa. Feara pun menarik nafas dan berusaha mengatur detak jantungnya yang berantakan.
“Hei Tax,” kata Feara memanggil pelan. Kembali seperti biasa Tax7 kembali mengabaikannya dan terus menapat di kegelapan angkasa. “Karena tadi ia membuka bibirnya jadi kurasa ia akan sedikit terbuka denganku, tapi ternyata tak berubah sama sekali,” kata Feara dalam hati.
“Apa yang kau lihat di sana?” tanya Feara berusaha menarik perhatian Tax7 yang sejak awal mengabaikan segala kata-kata dan pertanyaan yang ditujukan padanya. Feara sejenak menatap Tax7 menunggu jawaban darinya. Percuma, Tax7 tetap melihat langit tanpa menunjukan niat menjawab pertanyaan tersebut. Sadar akan hal tersebut, Feara menghela nafas dan menundukan wajahnya.
“Jika kau bertemu dengan orang yang menyebabkan para monster lepas kendali, apa yang akan kau lakukan?” tanya Tax7 tiba-tiba. Kembali Feara dibuat terkejut olehnya.
“He?” Feara mengangkat wajahnya dan menemukan Tax7 yang kini sudah menatapnya dengan tatapan datar.
“Jika kau bertemu dengan orang yang menyebabkan para monster lepas kendali, apa yang akan kau lakukan?” kata Tax7 mengulangi pertanyaan yang sama.
“He, a... apa?” kata Feara tidak mengerti maksud dari pertanyaan Tax7.
“Jika kau bertemu dengan orang yang menyebabkan para monster lepas kendali, apa yang akan kau lakukan?” kata Tax7 mengulangi pertanyaan yang sama untuk yang ketiga kalinya.
“Bukan itu maksudku, apanya yang bertemu dengan orang yang menyebabkan para monster lepas kendali?” kata Feara. Tax7 memiringkan kepalanya, menurutnya pertanyaannya sudah cukup jelas.
“Yah maksudku, siapa orang yang menyebabkan itu semua? Dan kenapa aku harus bertemu dengan dia?” kata Feara lagi menjelaskan maksudnya.
“Ini hanya permisalan,” kata Tax7 singkat.
“Eh ah... kau benar, ini hanya permisalan, iya ini hanya permisalan.” Sejenak Feara menarik nafas menenangkan dirinya. Untuk yang kesekian kalinya, jantungnya melompat keluar jika saja tidak dilindungi oleh tulang dadanya. Sejenak ia menaruh telapak tangannya di atas keningnya dan menyisir rambutnya ke atas sembari mencerna pertanyaan Tax7.
“Hmm... entahlah aku tidak terlalu yakin. Setidaknya aku tidak akan menyalahkannya, untuk semua ini. Aku bukan tipe orang yang mengungkit-ungkit masa lalu, biarlah yang lalu berlalu. Begitulah. Dan lagi setelah semuanya aku bertemu dengan orang-orang yang mengakuiku. Orang-orang yang dapat aku panggil keluarga,” kata Feara. Tax7 sudah kembali menatap langit, sepi sebentar. Tidak ada satu pun diantara mereka merusak ketenangan ini.
“Meski pun ia yang menyebabkan orang yang kau sayangi dulu terbunuh?” tanya Tax7 tiba-tiba. “Oi oi jika kau ingin menjawab, tidak perlu mengambil jeda sepanjang ini bukan?” kata Feara tanpa menggerakan bibirnya. Kembali sejenak ia mengambil nafas dan menyisir rambutnya ke belakang, menyusun kata-kata yang akan ia keluarkan.
“Aku tidak punya orang yang seperti itu. Bagiku, orang yang ku sayangi hanyalah mereka, anggota guild broken sword. Tidak kurang, tidak lebih. Tentu saja kau termasuk,” kata Feara.
“Meski pun ia telah membuat orang-orang yang sekarang ini penting bagimu bersedih karena kehilangan orang yang dulu mereka sayangi?” kali ini Tax7 tidak mengambil jeda seperti sebelumnya, bahkan seperti ingin menyela kalimat Feara sebelumnya.
“Apa maksudmu?” tanya Feara tidak mengerti dengan pertanyaan Tax7.
“Elbow dia sudah kehilangan banyak orang yang ia sayangi dan orang yang kau temui adalah penyebab itu semua,” kata Tax7 tanpa mengalihkan pandangannya dari langit.
“Soal itu...” kali ini untaian kalimat terhenti di giliran Feara. Sepi. Feara terbungkam dan hanya menatap Tax7 yang kini berganti menatap dirinya. Tax7 kembali menatap langit, ingin rasanya Feara menjawab pertanyaan barusan tapi ia tak tahu harus menjawab apa. Elbow adalah temannya yang pertama setelah pagi kehancuran. Feara pun tahu tentang keluarga serta teman-teman Elbow sebelum pagi itu yang tewas mengenaskan. Tentunya ia ingin membalaskan dendamnya, tapi entah mengapa ada yang mengganjal di tenggorokannya setelah sebelumnya ia berkata akan memaafkannya. Tax7 bangkit entah menuju ke mana, Feara pun tak tertarik dengan tempat yang dituju oleh Tax7. Ia memikirkan tentang pertanyaan barusan.

Rabu, 22 April 2015

Seseorang Tanpa Tanda 2



“Tak bisa dipercaya, kau pingsan hanya karena lapar?” kata Feara memperhatikan orang mencurigakan tersebut makan.
“Hei, biarkan saja dia. Ini adalah balasanku untuk menyelamatkanku di dungeon tempo hari,” kata Elbow membalas. Yang dibicarakan hanya diam sambil menyantap apapun yang ada di atas meja makan.
“Entah kenapa aku merasa tidak akan akrab dengan makhluk seprtinya,” kata Feara hendak mengambil potongan daging ayam di meja bersamaan dengan tangan orang mencurigakan tersebut yang hendak mengambil potongan yang sama. Mata keduanya pun bertemu dan saling mengibarkan bendera perang.
“Benarkah? Meski pun ia tidak banyak bicara, tapi entah kenapa aku menyukainya,” kata Elbow.
“Kami pulang,” kata serombongan anggota guild yang baru pulang dari dungeon. Mereka disambut penjaga bar. Sudah menjadi kontrak bahwa barang-barang dungeon harus disisihkan untuk bar tempat base camp guild broken sword tersebut.
“Feara, Elbow dan... kalian sudah pulang?” kata ketua terputus sejenak melihat orang ketiga diantara Feara dan Elbow.
“Ketua, selamat datang,” kata Elbow sambil tersenyum. Feara hanya mengangguk pelan, diikuti oleh orang ketiga yang lalu melanjutkan santapannya.
“Jadi, siapa orang ditengah yang sedang makan itu?” kata ketua. “Tentunya kalian akan memperkenalkannya pada kami semua bukan?”
“Kami bahkan tidak tahu namanya, sejak awal bertemu, ia tidak berbicara satu patah katapun,” kata Elbow.
“Tidak ada lencana guild atau lambang sekolah,” kali ini Feara yang angkat bicara.
“Yah setiap orang pasti punya masalahnya sendiri, tak terkecuali dirinya. Hahaha... bila ia memang ingin membicarakannya, cepat atau lambat ia akan berbicara,” kata ketua dengan tawa khasnya. Orang yang dibicarakan tanpa peduli sekitarnya terus menyantap makanan yang ia lahap.
Hari berlalu dengan cepat, malam pun tiba tanpa memberi peringatan. Begitu pula dengan hari esok yang akan datang tanpa permisi. Hanya tinggal beberapa hari sebelum pagi itu tiba, pagi disaat mentari tidak memberikan kehangatan. Tanpa permberitahuan tanpa permisi, bagai tamu yang tak diundang dalam sebuah pesta besar. Seperti 10 tahun yang lalu dimana umat manusia berhadapan dengan musuh baru di dunia ini.

Selasa, 21 April 2015

Seseorang Tanpa Tanda 1



Pagi itu matahari terbit dengan cahaya yang berbeda dari biasanya. Bukan, bukan kehangatan yang dibawa matahari tersebut. Pagi itu sama seperti pagi 10 tahun yang lalu. Pagi dimana semua berakhir, pagi kehancuran.
*trang*
Suara benturan gelas bir membangunkan Feara dari tidur nyenyaknya. Sepanjang kemarin sore, ia dan Elbow mendapat hukuman dari ketua guild atas kepergiannya ke dungeon tempo hari. Feara pun mengulat sejenak dan membiarkan tulang-tulangnya yang saling beradu berbunyi.
“Yo Feara, setelah tidur nyenyakmu, akhirnya kau bangun juga,” seseorang dengan suara berat menyapanya.
“Ini semua berkat ketua,” kata Feara pada ketua guild broken sword itu sendiri.
“Haha... lihat hasil kerjamu itu,” kata ketua sambil menunjuk bar yang mereka jadikan base camp.
“Haha, hasil kerja keras yang sia-sia. Mungkin lain kali aku akan berhati-hati agar tidak mengotori lantai jika berpesta,” kata Feara melihat keadaan base camp guildnya yang kembali kotor dalam waktu semalam setelah ia bekerja keras membersihkannya.
“Yah, setidaknya itu bagus untuk menyadarkanmu pentingnya kebersihan,” kata ketua.
“Kalau begitu, kenapa kau tidak memberikan pekerjaan tersebut kepada mereka yang membuat kotor bar ini lagi?” protes Feara yang hanya dijawab dengan tawa keras dari ketua. Feara pun mendengus kesal.
“Ketua, kau lihat Elbow?” kata Feara tersadar Elbow yang jarang-jarang meninggalkannya.
“Hah, Elbow? Bukannya seperti biasa ia bersama dengan Feara?” kata ketua tercekat di akhir kalimat sadar bahwa lawan biacaranya adalah orang yang disebutkannya. Feara hanya menatap ketua dengan tatapan kecewa.
“Mungkin ia sedang mencari angin di pertokoan atau perpustakaan... hahaha,” lanjut ketua tak meyakinkan. Feara menghela nafas dan segera membalikan badan.
“Oi, mau kemana kau Feara?” tanya ketua.
“Tentu saja aku akan mencari Elbow, k-e-t-u-a,” kata Feara sengaja mengeja kata ketua. Dalam hati ia bertanya kenapa orang seperti dia mejadi ketua. Yah memang kemampuannya dalam pertempuran tak perlu diragukan lagi, tapi dalam hal memimpin di dalam guild masih ada orang yang lebih baik dari ketua. Misalnya wakil ketua Foxtail yang menjadi penyusun strategi ulung di dalam guild.
Lupakan tentang ketua guild gadungan, Feara kembali melaju di pelataran kota mencari seseorang yang untuk sementara ini menjadi mentornya, Elbow.
“Whoa Feara, sudah lama tak bertemu!” kata seseorang di tengah jalan. Ia mengenakan baju untuk berkebun. Usianya yang menginjak senja terlihat dari janggutnya yang keputihan.
“Setiap hari aku lewat sini kakek Goro,” kata Feara menjawab salam dari kakek Goro.
“Benarkah? Hahaha rasanya aku sudah 10 tahunan tidak bertemu dengan mu. Ini hasil kebun kakek sedang bagus, kau ambillah sebagian,” kata kakek Goro menjejalkan potongan kentang di tangan Feara.
“Eh tidak perlu, aduh kakek bukannya ini penghasilan kakek? Bagaimana nanti jika keuntungan tahun ini berkurang?” kata Fera mendorong kembali kentang tersebut.
“Apa yang kau katakan, tanpa kalian ladang kami akan musnah oleh monster-monster itu. Jangan sungkan terimalah,” kata kakek Goro kembali mendorong kentang tersebut. Setelah beberapa kali saling mendorong bungkusan kentang, akhirnya pertandingan tersebut dimenangkan oleh kakek Goro. Feara pun menerimanya dan menaruhnya di kantong bajunya.
“Terima kasih, aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu tapi suatu saat nanti aku akan membalas kebaikanmu.” Feara kembali melanjutkan usahanya mencari Elbow setelah berpamitan pada kakek pelupa Goro. Bagi sebagian orang yang tidak memiliki kekuatan atau tidak berkeinginan melawan, mereka berkerja sebagai petani atau pun pembuat senjata. Banyak diatara mereka juga bekerja menghibur orang-orang. Mereka biasa disebut sebagai orang-orang sipil, sedang orang-orang yang bekerja menghabiskan monster di dungeon yah mungkin bisa disebut orang biasa.
Ditengah jalan Feara melihat seseorang berjubah hitam yang sangat mencurigakan. Sejak tadi ia berdiri di depan sebuah toko tanpa membeli. Ia tidak membawa senjata yang mencolok, tapi siapa yang tahu bila dibalik jubahnya itu ternyata ada senjata mematikan. Feara pun mendekati toko tempat orang tersebut berdiri mematung.
“Jika kau berdiri terus disitu, kau akan mengganggu pelanggan lain,” kata penjaga toko itu halus.
“Ada apa?” tanya Feara setibanya di depan toko tersebut.
“Soal itu, pelanggan ini terus berdiri di sini tanpa membeli. Kehadirannya disini pun menakuti pelanggan lainnya. Aku sudah mencoba menegurnya tapi ia sama sekali tidak mendengarkan,” kata penjaga toko tersebut sambil menunjuk orang tadi. Feara pun menatap orang mencurigakan tersebut.
“Hei, kau mengganggu pelanggan lain yang ingin berbelanja!”  kata Feara. Orang tersebut tak bergeming, atau mungkin bahkan tidak mendengar perkataan Feara.
“Hei, ku bilang kau mengganggu pelanggan!” kata Feara lagi. Respon yang sama diberikan oleh orang mencurigakan tersebut.
“AKU BILANG KAU MENGGANGGU!” seru Feara kali ini denga suara yang lebih keras. Berkat itu perhatian orang-orang di pasar tertuju pada toko tersebut. Tanpa mempedulikan orang disekitarnya, orang mencurigakan tersebut tidak bergeming sedikit pun. Feara yang sudah kesal segera mencabut pedangnya dan mengacungkannya ke dekat leher orang tersebut.
“Berani kau mengabaikanku, apa kau tuli? Nah kau lihat pedang ini, aku menyuruhmu untuk pergi,” kata Feara yang kesabarannya sudah terkuras hingga pada tetes terakhirnya. Bukannya pergi orang tersebut menatap pedang Feara yang mengkilap. Dalam sekejap entah apa yang terjadi orang tersebut sudah berbalik mengacungkan pedang Feara pada pemiliknya sendiri. Sejenak semua terdiam termasuk Feara. Pada detik selanjutnya orang tersebut menjatuhkan pedang Feara ke tanah.
Terlepas dari ancaman kematian, Feara mengambil langkah mundur mengambil pedangnya yang tergeletak di tanah. Ia bersiap untuk melakukan pertarungan. Tiba-tiba saja orang mencurigakan tersebut terjatuh, terkapar di tanah. Sorak penonton bertepuk tangan menganggap kemenangan secara ajaib jatuh kepada Feara yang kini memeriksa orang tersebut apakah masih hidup atau sudah mati.
“Feara!” Elbow menerobos kerumunan penonton dan mendekati Feara. “Hey apa-apaan keributan ini?”
“Elbow, yah kau tahu sesuatu terjadi dan aku terlibat di dalamnya. Daripada itu, sejak pagi kau pergi ke mana?” tanya Feara.
“Mencari udara mengelilingi kota,” kata Elbow sambil memperhatikan orang yang tergeletak di pangkuan Feara yang kini memegangi lehernya mencari denyut nadi. “Orang ini...”
“Kau kenal dia?” kata Feara cepat sebelum Elbow menyelesaikan kalimatnya.
“Bukan kenal atau apa, tapi ia yang meloncat menyelamatkanku tempo hari di dungeon,” jelas Elbow.
“Dungeon?”
“Ituloh saat aku hendak terkena pukulan maut gorila waktu itu, dia yang menyelamatkanku.”
“Dia!? Orang yang kelihatannya sangat mencurigakan ini?“ kata Feara terkejut.
“Yah memang tampangnya sangat mencurigakan, ditambah jubah hitamnya yang melengkapi kesan mencurigakannya. Jadi apa yang terjadi hingga dia pingsan?”
“Tentang itu aku juga tak tahu. Ia merebut pedang dari tanganku dan tiba-tiba saja terkapar di sini,” kata Feara selesai mengecek status kehidupan orang mencurigakan tersebut. “Setidaknya ia belum mati.”
“Lalu kenapa dia bisa terkapar ya?” kata Elbow berusaha berpikir, begitu pula dengan Feara.
*kruyuk*
Tiba-tiba sebuah suara terdengar. Suara perut yang menjerit karena belum terisi apapun sejak lama.
“Kau mendengar sesuatu?” kata Feara tak percaya dengan yang baru saja ia dengar.
“Seperti suara perut kelaparan,” kata Elbow lebih meyakinkan dirinya.
“Jangan bilang dia...” kata Feara dan Elbow bersamaan sambil menatap orang mencurigakan yang kini sedang terkapar.

Minggu, 19 April 2015

Awal 2


“Kau, berani-beraninya!” sambil menggeram dengan cepat Feara mengambil kuda-kuda rendah di bawah gorila tersebut. Sekali lagi gorila tersebut dengan mudahnya menghempaskan Feara ke tanah. Feara yang terpental merasakan sakit yang luar biasa di dadanya, ia pun menggeliat kesakitan di tanah. Tanpa jeda gorila tersebut sudah bersiap dengan serangan keduanya. Feara yang baru saja pulih dari rasa sakit tak mungkin dapat menghindari serangan gorila tersebut. Feara pun berpikir cepat dan menemukan pedangnya yang terpental tak jauh dari tempatnya sekarang. Selagi tinju mematikan sang gorila melayang ke arah Feara, Feara berusaha menggapai pedangnya yang hanya berjarak satu meter jauhnya. Detik demi detik berlalu dengan sangat lamban, tak sampai satu hasta jarak tinju gorila tersebut dengan Feara. Sama halnya dengan Feara yang tinggal sedikit lagi menggapai pedangnya yang terpental tadi. Dalam detik-detik itu sekilas terasa debaran jantung Feara yang semakin cepat. Sebuah pertaruhan nyawa saat pertamakalinya ia memasuki dungeon.
“Feara merunduk!” seru sebuah suara dari dalam lebatnya hutan, suara yang amat familier di telinga Feara. Tanpa banyak berpikir, Feara menuruti perintah suara milik Elbow tersebut. Seketika sebuah perisai batu terbentuk di depan Feara dan menghentikan tinju si gorila. Darah pun bermuncratan dari tangan si gorila. Melihat kesempatan tersebut Feara bangkit mengambil pedangnya dan menyerang gorila, sang gorila mengayunkan tangannya mencoba melakukan hal yang sama serti sebelumnya. Akibat pukulan salah sasaran tadi ayunan tangan gorila melambat dan dengan mudahnya dapat dihindari oleh Feara. Tanpa ragu, Feara pun menggorok gorila tersebut di bagian perut hingga dadanya. Bagitu gorila tersebut kesakitan tiba-tiba saja anak-anak panak yang terbuat dari batu kompak menancapkan diri di tubuh si gorila.
“Waktu yang tepat,” kata Feara kepada Elbow. Elbow hanya tersenyum lalu kembali berkonsetrasi pada lawannya, begitu juga Feara. Gorila yang kesakitan tersebut perlahan menghentikan perlawanannya sejenak. Baik Elbow maupun Feara, mereka meningkatkan kewaspadaan. Selain kepada gorila yang baru saja mereka tumbangkan, tetapi pada monster lain yang barang kali ada di sekitar mereka. Setelah memastikan tidak ada apapun, Feara menyarungkan pedangnya dan mengambil posisi duduk. Pucat di wajahnya masih terlihat jelas, tangannya pun tak bisa berhenti gemetar. Elbow pun mengikutinya dan mengambil posisi duduk di sebelah Feara, bersebrangan dengan gorila yang sejak tadi tidak menunjukan pergerakan.
“Kau baik-baik saja?” Feara yang pertama kali membuka mulutnya.
“Apanya yang baik-baik saja? Kau pikir dengan pergi ke dungeon berbahaya ini sendirian dapat membuatmu diakui? Asal kau tahu, ini bukan game yang sering kita mainkan dulu. Tidak ada hit point dan sebagainya, jika kau terkena serangan dari gorila tadi, bisa dipastikan kau akan tewas. Sekarang lihat dirimu yang kacau itu, bahkan berdiri pun kau takkan mampu,” omel Elbow panjang lebar.
“Maaf...” Feara sudah kehabisan kata-kata untuk membalas. Ia hanya tertunduk menyesali perbuatannya. Gara-gara ulahnya, ia hampir membuat Elbow terbunuh.
“Bahkan bagi diriku yang sudah memasuki tahap kedua juga masih terlalu dini untuk memasuki dungeon berbintang dua. Karena itu berjanjilah bahwa kau tidak akan mengulanginya lagi,” kata-kata berhenti keluar dari mulut Elbow, perlahan air mata meleleh di pipinya. “Aku sudah cukup kehilangan orang-orang yang kusayangi dan aku tidak mau merasakan hal itu lagi, jadi...” suasana berubah menjadi sendu, perlahan Feara pun merasakan sesuatu meleleh dari matanya.
“Aku berjanji, tidak akan mengulanginya lagi,” kata Feara disela isak tangisnya. Untuk beberapa saat susana menjadi semakin sendu dengan semilir angin yang numpang lewat.
“Ngomong-ngomong, kenapa tidak ada monster lagi yang mendekat ya?” kata Elbow segera setelah menyadari sesuatu yang aneh.
“Hmm?”
“Sekarang kita ada di dungeon, terlebih lagi kita telah membuat keributan. Setelah semua itu, kenapa tidak ada satu monster pun yang datang,” lanjut Elbow.
“Benar juga,” kata Feara baru sadar akan keanehan tersebut.
“Perasaan ini, jangan-jangan...” Elbow menyelidik udara di sekitarnya yang sedikit tenang dan bergetar.
“RADIAS!” kata Elbow dan Feara bersamaan.
“Sejak kapan?” Elbow berkata pada dirinya sendiri memperhatikan sekitarnya barangkali orang yang memasang pemancar radiasi di tengah dungeon ini masih berada di sekitarnya. Bahkan bagi orang pertingkat tinggi, pemancar radiasi adalah barang yang sangat langka. Bukan karena sulit mencarinya, tapi persyaratan untuk mendapatkannya yang sangat ketat. Tiba-tiba Feara teringat sesuatu.
“Ngomong-ngomong Elbow,” kata Feara.
“Apa?”
“Bagaimana kau bisa lolos dari pukulan maut gorila tadi?”
“Soal itu, aku diselamatkan oleh seseorang yang kira-kira seumuran dengan kita. Karena ia bergerak dengan sangat cepat, mungkin ia mengambil jurusan teleporter.”
“He?” kata Feara menatap Elbow dengan tatapan kebingungan.